Tahukah kamu? suatu lembaga bentukan jepang yang bertugas mengumpulkan data yang diperlukan untuk indonesia? Jika belum tahu, kamu bisa membaca artikel ini.
Pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
Diawali dari Pemberontakan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada tanggal 4 Mei 1945, atau Jum'at Legi, 21 Jumadil Awal 1364. Pemberontakan terjadi di Pengalengan Bandung. Untuk meredam solidartias kalangan politisi di Jakarta, Panglima Tentara Wilayah ke-7 Jendral Itagaki Sishiro di Singapura, melancarkan sistem persenjataan sosial politik dengan cara memberikan izin Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI.
BPUPKI dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. BPUPKI singkatan dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. BPUPKI dibentuk pada tanggal 16-18 Mei 1945, 3 bulan sebelum kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tersebut, pihak Jepang tidak menyebutkan kata Indonesia. Sehingga bisa ditafsirkan dalam janji kemerdekaan bagi Indonesia tidak disebutkan kapan kemerdekaan akan diberikan, hanya disebutkan "kelak dikemudian hari" saja. Begitupun penamaan Dokuritsu Zyunbi Iinkai, atau Panitia Persiapan Kemerdekaan, juga tidak disebutkan Indonesia.
Maksud Pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk Ulama
Dengan adanya siasat pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai oleh Jepang ternyata memiliki maksud tersembunyi. Sebagaimana udang di balik batu. Ada maksud mengapa Jepang memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia dengan membentuk BPUPKI.
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI dijadikan alat politik supaya Ulama dan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dapat merubah cara perjuangan kemerdekaan negara tanpa senjata.
Balatentara Jepang menginginkan melalui BPUPKI, Ulama dan PETA mau mengikuti cara Jepang dalam debat politik. Dalam istilah modern-nya, proses yang dibangun oleh Jepang ini disebut deislamisasi politik. Sehingga dimulailah beberapa sidang BPUPKI dan PPKI.
Keanggotaan BPUPKI
Sidang pertama BPUPKI terjadi pada tanggal 29 Mei 1945. Pada Sidang Perdana tersebut, Wakil Ketua R.M.A.A Koesoemo Oetojo digantikan oleh Drs. Mohammad Hatta.
Hampir separuh dari anggota Chuo Sang In, menjadi anggota dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI). BPUPKI secara resmi dilantik oleh Jepang dengan jumlah anggota sebanyak 60 anggota, tidak termasuk Ketua dan Wakil.
Dari sekian anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, hanya ada 15 wakil dari golongan nasional Islam. Sehingga, semakin nyatalah deislamisasi politik yang direncanakan Balatentara Jepang. Adapun yang termasuk anggota nasionalis Islam antara lain :
- Abikoesno Tjokrosoejoso (Partai Sarikat Islam Indonesia),
- K.H. Achmad Sanoesi (Persatuan Umat Islam Sukabumi),
- Kiai Hadji Abdoel Halim (Persatuan Umat Islam Majalengka),
- Ki Bagoes Hadikoesoemo (Perserikatan Muhammadiyah),
- Ki Hadji Mas Mansoer (Perserikatan Muhammadiyah),
- Abdoel Kahar Moezakkir (Perserikatan Muhammadiyah),
- R.R. Wongsokoesoemo (Mantan Parindra dari Masyumi),
- Hadhi Agoes Salim (Penjedar),
- R. Samsoedin (Parindra dari POI Sukabumi,
- Dr. Soekiman Wirjosandjojo (Partai Islam Indonesia),
- Kiai Hadji Wahid Hasyim (Nahdatul Ulama),
- Ny. Soenarjo Mangoenpoespito (Mantan JIBDA dari Aisyiyah),
- Abdoel Rachman Baswedan (Partai Arab Indonesia),
- Abdoel Rahim Pratalykrama (Residen Kediri).
Selain diperkecilnya jumlah wakil Ulama dalam anggota BPUPKI, juga diangkatnya Ketua dan Wakil Ketua BPUPKI dari kalangan Kedjawen, yang pernah menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Selain itu, keduanya juga mantan pegawai negeri pemerintah kolonial Belanda.
Saat itu, BPUPKI diketuai oleh Dr. Radjiman Wedijodiningrat (mantan ketua Boedi Oetomo) dan Wakil Ketua kepada R.P. Soeroso (mantan Ketua P.V.P.N).
Sidang BPUPKI
BPUPKI buatan Jepang ini menjadi badan yang membicarakan dasar negara dan bentuk negara Indonesia kedepannya. Juga sebagai tindak lanjut atas Janji Kemerdekaan oleh Perdana Menteri Koiso.
Badan ini juga menjadi jawaban atas tuntutan gerak protes dari Ulama dan PETA. Gerakan protes Ulama dan PETA antara lain :
- Pertama, Ulama Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, 18 Februari 1944, dan Indramayu, 30 Juli 1944, menuntut Indonesia Merdeka berdasarkan Islam.
- Kedua, tuntutan dari PETA di Blitar, 15 Februari 1945, di Cilacap. 21 April 1945, dan Pandeglang Bandung Selatan, 4 Mei 1945.
Sidang BPUPKI terjadi dua kali. Sidang pertama terjadi pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, yang membicarakan ideologi negara. Sidang kedua pada tanggal 10-14 Juni 1945 membicarakan konstitusi negara.
Pada sidang BPUPKI I, tepatnya tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan Philosofische Grondslaq atau Landasan Dasar Falsafah Negara yang dia usulkan adalah Pancasila (maka hari tersebut diperingati hari lahirnya Pancasila). Landasan dasar ini terdiri dari Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan.
Panitia Sembilan
Dalam sidang pertama BPUPKI kala itu, berkembang 2 paham, yaitu paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Hal tersebut dilandasi dari Nusantara yag pernah berdiri sekitar 40 Kesultanan (kekuasaan politik Islam). Sedangkan paham yang kedua, paham yang diusulkan oleh Mohammad Hatta ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan agama dan urusan Islam (bukan negara Islam).
Upaya Jepang melakukan deislamisasi politik (meniadakan konsep politik dari ajaran Islam), dan depolitisasi Ulama dengan menjauhkan Ulama dalam membuat kebijakan politik. Untuk mengkondisikannya, Jepang menjalankan Politik Shintonisasi atau Politik Nipponisasi terhadap segenap lapisan kehidupan umat Islam Indonesia. Maka saat persidangan BPUPKI Juni 1945, diangkatlah Paniti Sembilan.
Panitia Sembilan terdiri dari 4 anggota dari nasionalis Islam dan 5 anggota dari nasionalis netral agama, diantaranya :
- Agus Salim
- Abikusno Tjokrosoejoso
- Abdul Kahar Muzakkir
- Wahid Hasyim
- Soekarno
- Mohammad Hatta
- Mr. A.A. Maramis
- Achmad Soebardjo
- Mohammad Yamin
Pertemuan Panitia Sembilan menghasilkan perumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta atau Djakarta Charter, 22 Juni 1945.
Dalam Piagam Jakarta tersebut, tertera sila pertama dalam Pancasila adalah "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". A.A. Maramis yang menjadi salah satu Panitia Sembilan beragama Kristen sebenarnya setuju dengan kalimat tersebut. Sebab Ketuhanan tidak dituliskan dengan Yang Maha Esa yang bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen.
Perkembangan selanjutnya, 14 Juli 1945, Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Hadji Achmad Sanoesi meminta diganti dengan "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam" (dihapuskannya kata bagi pemeluk-pemeluknya). Dengan penghapusan tersebut, Indonesia akan berlaku Syari'at Islam bagi segenap bangsa Indonesia. Ternyata penghapusan sebagian atau seluruhnya dari kata-kata tersebut ditolak.
Hal ini menjadi polemik bagi para Ulama dan politisi Islam yang membebaskan penjajahan untuk menegakkan syari'at Islam harus berhadapan dengan kalangan nasionalis netral agama, Kejawen, dan Kristen, Katolik serta penjajah Balatentara Jepang. Begitupun ketika dipilihnya perwakilan nasional Islam dalam Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar hanya Hadji Agus Salim dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo, menghadapi perwakilan nasionalis netral : Soepomo (Ketua), Wongsonegoro, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, dan Singgih.
Perjuangan para Ulama seakan terhenti dan hanya bisa pasrah dengan hasil penutupan Sidang Kedua BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945, dengan disepakatinya Pembukaan dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Pembubaran BPUPKI dan Terbentuknya PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI). Panitia ini beranggotakan 21 pemimpin yang terdiri dari :
- 12 wakil Pulau Jawa : K.R.T Radjiman Wediodiningrat, R. Otto Iskandar Dinata, Ki Abdoel Wachid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, B.K.P.A Soerjohamidjojo, B.P.H Poerbojo, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R.P Soeroso, Prof. R. Soepomo, Abdoel Kadir, Ir. Soekarno (Ketua), serta Mohammad Hatta (Wakil Ketua).
- 3 wakil Pulau Sumatra : Dr. Mohammad Amin, Mr. Teuku Mohammad Hasan, Mr. Abdoel Abas.
- 2 wakil Pulau Sulawesi : Dr. G.S.S.J. Ratu Lagie, Andi Pangeran.
- 1 wakil Pulau Kalimantan : A.A. Hamidan.
- 1 wakil Kepulauan Sunda Kecil : Mr. I Gusti Ketut Poedja.
- 1 wakil Kepulauan Maluku : Mr. J. Latuharhary, dan
- 1 wakil Komunitas Cina : Drs. Yap Tjuan Bing.
Berdasarkan anggota di tersebut, terlihat jumlah perwakilan Islam yang begitu sedikit. Sehingga Balatentara Jepang sudah berhasil melaksanakan deislamisasi politik dan depolitisasi Ulama. Bahkan, sampai sekarang penegakan Islam dianggap asing di Indonesia.
Dengan pembentukan Dokuritsu Zyunbi Iinkai / PPKI, maka lembaga bentukan Jepang yang bertugas mengumpulkan data yang diperlukan untuk indonesia yaitu BPUPKI, dibubarkan. BPUPKI dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945.
Sumber : Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2.
Post a Comment